Cerpen: Detik Waktu Yang Berarti



Detik Waktu yang Berarti
Karya: Lia Herliana
 

Sejak pagi aku termenung di teras rumah. Kini matahari sudah meninggi dan Aku tetap tidak beranjak dari kursi goyangnya. Kebetulan ini hari minggu, tidak ada aktivitas formal yang harus ku lakukan. Hoooaahhhh…. Aku menguap. Perlahan mulai ku tutup kembali matanya sambil merasakan semilir angin yang menerpa tubuhku. Waaaa….. asoy bener.

“Meta!!!!!”

Aku hampir terjatuh dari kursi goyang itu karena kaget mendengar teriakan itu. Waduh, buyar deh kenikmatanku merasakan satu hari dengan santai, kataku dalam hati.

“Mau sampai kapan kamu malas-malasan gitu? Ayo cepat kesini bantu mama!” Mamanya berteriak dari dapur menegur aku yang lagi malas-malasan.

“Aduh mama, nggak bisa ngeliat orang senang aja. Kalau ngajak itu ke tempat yang keren dong. Ke mall kek, ke tempat wisata kek. Yah ini malah ngajaknya ke dapur.” Aku menggerutu sambil berjalan menuju dapur.

“Aaah udah jangan banyak omong. Ke sini cepat bantu mama masak” mama nggak peduli dengan jawabanku.

Aku datang dengan wajah cemberut karena kesenanganku yang jarang terjadi itu yaitu bersantai-santai ria harus lenyap. Aku pun mulai membantu mama di dapur.

Di dalam hati, aku bersyukur juga masih bisa berkumpul dan bercanda tawa dengan mama. Di hari sibukku, jarang aku bisa seperti ini dengan mama. 

Yaaah…hari senin sampai sabtu merupakan hari tersibukku. Tidak ada kesempatan bagiku untuk ngobrol dengan mama dan papa dalam waktu yang agak lama. Biasanya aku hanya bertegur sapa dengan mereka. Hanya itu!

Keesokan harinya, Aku terbangun seperti biasa dan memulai aktivitas. Tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh orangtuaku. Mereka pun beraktivitas di pagi hari, seakan berlomba-lomba siapa yang sudah rapi dan siap berangkat duluan ke tempat tujuannya. 

Walaupun begitu, keadaan di dalam rumah itu tidak terlalu ribut seperti rumah orang lain pada umumnya yang jika memulai aktivitas di pagi hari ribut dan heboh. Di rumah itu hanya terdiri dari tiga orang saja, yaitu Aku dan kedua orangtuaku. Sebenarnya masih ada satu anggota keluarga lagi yaitu kakak Aku. Namun, ia berada di luar kota untuk melanjutkan pendidikannya di suatu universitas swasta.

Tapi anehnya, dengan keadaan rumah yang hanya tiga orang saja, aku tidak merasakan kesepian. Kok bisa? Ya begitulah, aku terlalu sibuk dengan kuliah dan kerja sebagai pengajar. Sehingga aku tidak lagi sempat merasakan kesepian di rumah itu. Karena aku telah duluan diselimuti oleh perasaan capek dan lelah.

Aku segera pergi ke kampus pagi itu. Jarak antara rumah dan kampusku sangat jauh, memerlukan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di kampus. Bokong serasa panas dan pegal jika sudah sampai di kampus karena  kelamaan  duduk  di jok  motor.  Di perjalanan pagi itu tidak semulus biasanya. Tidak ada perasaan apa-apa di hatiku saat itu.

Tiba di perempatan jalan, aku melihat anak-anak SMP mengendarai motor dengan sangat laju dari arah kanan. Mereka bergoncengan, keduanya perempuan dan tidak menggunakan pelindung kepala atau helm. Saat jarak antara aku dengan mereka semakin dekat, aku melihat mereka tidak mengurangi kecepatan laju motornya. Bagaimana ini? dalam hatinya. Mereka melaju di depanku. Aku telah berpikir duluan gimana kalau mereka yang tertabrak? Mereka tidak memakai helm dan mereka menggunakan rok yang pastinya susah untuk bergerak dalam keadaan tiba-tiba. 

Akhirnya Aku mengalah. Detik-detik pun terasa sangat cepat saat mereka melintas di depanku. Aku langsung menarik rem tangan dan menginjak rem kaki secara mendadak. Suara decit rem terdengar keras di telingaku. Aku tumbang! 

Badan dan motorku berputar-putar di jalan itu. Kepalaku tiba-tiba pusing. Saat motorku terdiam, asap dan debu mengepul di sekitarnya. 

“Seseorang! Tolong aku!”

Saat terjatuh, aku masih bisa melihat anak-anak SMP itu. Mereka tidak berhenti sama sekali, mereka malah menambah kecepatan motornya. Sial!

“Tubuhku serasa remuk. Badan motor menimpa badanku. Aku tidak bisa begerak. Hanya jari tangan bagian kanan yang bisa kugerakkan. Itupun ngilu rasanya. Apa aku akan tertidur dan terdiam di sini?” lirih aku. 

Akhirnya seorang bapak menghentikan motornya dan menolong aku. Bapak itu mengangkat motor dari tubuhku.
 
“Fuhhhhh…..akhirnya aku bisa berdiri juga”, Aku lega.

Orang-orang hanya melihatku dengan heran. 

“Kamu tidak apa-apa, nak?” Tanya bapak itu sambil mengangkat motor dari tubuhku.

Suaraku tertahan. Aku hanya bisa mengangguk.

“Istirahat aja dulu nak di tepi jalan itu” bapak itu menunjuk ke trotoar dan meminta aku menenangkan diri dulu.

“Terima kasih, pak. Tapi saya harus segera ke kampus. Saya sudah terlambat” Ucapku.

Aku langsung menyalakan motornya lagi dan mulai berjalan menuju kampus. Di perjalanan, aku hanya merasa lecet sedikit saja. Hal itulah yang membuatku tidak pulang ke rumah dan malah melanjutkan perjalanan ke kampus.

Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga aku di kampus. Aku memarkirkan motor. Tiba-tiba terasa ada yang mengalir di lututku. Kira-kira cairan apa yang berada dibalik celana jeansku.  Aku segera masuk kelas karena ia sudah terlambat masuk kuliah.

Saat ia mulai melangkah, Awww……terasa sakit sekali kaki ini dipijakkan. Akhirnya aku berjalan agak pincang. Tiba di depan kelas.

“Permisi, pak. Maaf saya terlambat” Aku mengetuk pintu kelas.

“ya, tidak apa-apa. Silahkan masuk” Dosen itu menoleh sebentar dan lanjut menerangkan materi kepada mahasiswa.

Aku  masuk kelas. Aku pun memilih  kursi  yang berada  di  belakang.  Saat aku duduk, segera ku lipat ke atas celana jeansku. Aku ingin mengetahui apa yang mengalir di lutut. Karena aku duduk di belakang, maka aku terlindung dari pandangan dosen dan bisa bebas membuka sedikit celana jeansku sampai selutut.

Jangan…..jangan….

Apa yang aku duga akhirnya terjadi juga. Darah segar mengalir di lututnya. Banyak darah yang keluar. Entah mengapa rasanya aku ingin menangis.

“Cengeng amat sih…” batinku.

Selama perkuliahan berlangsung, ku biarkan celananya terlipat setengah, dengan harapan agar darahnya bisa cepat mengering.

Satu jam kemudian, habis sudah jam dari mata kuliah yang kuhadiri saat ini. Dosen pun segera keluar dari kelas dan teman-teman berkeliaran bebas menunggu mata kuliah kedua. Aku melihat mereka dari kursinya yang berada di belakang. Ada yang ngobrol, ada yang sibuk sms-an.

“Oh ya! Aku harus membasuh luka dilututku.”

 Aku teringat akan lukanya yang harus segera dibersihkan. Aku berdiri dari kursi, berjalan keluar kelas menuju toilet. Beberapa temannya melihatnya dengan wajah aneh.

“Kenapa, Meta? Kok mukamu pucat gitu?” Tanya Jaka.

“Iya, dan tumben sekarang kamu jadi pendiam. Biasanya ceria” sahut teman yang lain.

Uppsss…gimana nih. Aku nggak mau mendapat simpati dari mereka. Aku nggak mau terlihat manja di depan mereka. Ucap Aku dalam hati. Tapi ia tidak bisa menyembunyikannya.

“Engg…tadi aku habis kecelakaan” sahut Aku sambil nyengir-nyengir seolah itu hal yang sepele.

“Kapan?”

“Tadi pagi. Tapi kecelakaan ringan aja kok” Aku berusaha tegar di depan mereka.

“Masa? Aduh kasihan. Kok kamu malah kuliah? Mestinya pulang aja. Masa kamu habis kecelakaan tetap kuliah?”

“Aaaah…nggak usah dipikirin. Lha wong aku nggak apa-apa gini kok. Aku kan kuat” jawabku sambil berlalu dari mereka.

Bohong! Aku merasakan perih, seluruh badanku rasanya remuk, dan aku rasanya ingin segera pulang dan istirahat di rumah. Aku membatin.

Tiba di toilet, aku menutup pintu dan membuka baju juga celana. Aku ingin lihat apa ada luka lagi. Ternyata badanku penuh luka, lecet, dan semuanya keluar darah. Aduh bagaimana ini?? Aku langsung menyambar tisu yang sudah dibawa dari kelas tadi. Aku bersihkan semua darah yang keluar dari tubuhku.

Waktu pun berlalu. Ternyata dosen mata kuliah kedua tidak masuk jadi teman-teman pada pulang semua. Horeee… Aku girang dalam hati. ku jadi bisa istirahat di rumah. Aku pun pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung menuju ke kamar untuk istirahat. Tidur.

Aku tertidur seakan aku tidak akan bangun-bangun lagi. Terdengar olehku suara mama. Sepertinya ingin menyadarkanku. Suara itu keciiiiil sekali terdengar seperti sedang berada di seberang lautan.

Ah!!!!!

Aku tersadar. Aku membuka mata perlahan. Aku melihat mamaku berada di sisiku dan bapakku sedang duduk di dekat kaki aku. Aku samar-samar melihat wajah mama, terlihat seperti kilauan yang panjang dari mata menuju dagu mamanya.

Apaaaa??? Mamaku menangis! Aku seakan tak percaya. Mengapa mama menangis? Aku pun tak tahu.

Aku melihat di sekitarnya. Yah Aku masih berada di kamarku sendiri. Aku telah dibalut dengan selimut. Entah sejak kapan berada di atas tubuhku. Aku coba mengingat kejadian terakhir kali sebelum aku tertidur di sini.

“Aku! Kamu sudah sadar, nak?” mama mengusap kepalaku.

Aku tak bisa menjawab. Seakan bibirku tertutup dan dikunci dengan rapat. Ingin aku bertanya balik, sadar apanya ma? Tapi tak bisa. Suara Aku tak bisa keluar. Aku hanya bisa memberikan isyarat dengan kedipan mata.

“Mama sangat khawatir, nak. Tadi kamu demam. Sewaktu mama pulang, mama mendengar kamu mengigau sangat keras. Mama kira kamu sedang tidur. Tapi setelah mama lihat badanmu, mengapa penuh luka, nak?” air mata mama lagi-lagi membasahi pipinya.

Aku demam? Oh tidak. Aku tak percaya.

Lima belas menit kemudian, tiba-tiba mata Aku menjadi gelap. Aliran tubuhku seakan mulai redup. Kakinya menjadi mati rasa sekarang. Ada apa ini? kenapa kakiku jadi kaku begini???

“Maaaaaaaa…….” Aku teriak keras, “Keraaaam….”

Aku tidak bisa melihat di sekelilingku lagi, semuanya menjadi kabur. Kenapa?? Tiba-tiba mulai dari kakinya terasa aliran darah naik dengan cepat menuju lutut, terus melaju ke pinggang, lalu ke perut. Nyawaku terasa ditarik dari ubun-ubun. Sangat terasa!

Di dalam detik-detik ini semua kakiku sampai perut mati rasa. Tidak ada aliran darah yang mengalir  di tubuh bagian bawah. Jika kakiku dipotong pun aku sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Aliran darahku terus naik dari perut ke dada. Detik waktu seakan sangat berarti bagiku.

Aku belum mau mati sekarang. Ucapku.

Bagaimana ini? kini aliran darahku terus menuju ke bagian leher, aku sudah merasakan nyawaku sebentar lagi akan selesai dicabut dari badan ini. Sakiiiit sekali.

Aku belum mau berpisah dari keluarganya, teman-teman, kehidupanku, dan ibadahku. Tolong jangan sekarang. Dalam hati aku sudah mengucapkan berkali-kali doa dan memuji Allah sebagai tuhanku. Dalam detik yang berjalan sangat singkat aku mengucapkan berkali-kali kalimat shahadat dan berzikir. Semua badannya sudah mati rasa. Aliran darahku sebentar lagi mencapai tenggorokan. Aku  sudah sangat sulit bernapas. Pandangannya gelap.

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh…….

Perlahan mataku mulai terbuka. Aku melihat sekeliling. Oh! Aku mengenal tempat ini. Ternyata aku masih berada di kamarku. Aku merasa lega.

Aku sangat bersyukur ternyata aku masih hidup. Aku  melihat jam menunjukkan angka 02.20.

Yah, sekarang aku baik-baik saja. Aku merasa sangat capek dan lelah. Aku berucap.

Aku menutupkan kembali kedua mataku. Berdoa dalam hati lalu merenung sesaat, takkan ku sia-siakan hidupku. Selagi aku masih bernapas aku akan membahagiakan kedua orang tuaku, teman-temanku, dan aku akan membuat pelangi dan mentari pagi, indah dan hangat menyelimuti jiwaku. Mungkin ini kesempatan kedua bagiku untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

Pagi hari aku terbangun dan siap dengan aktivitas seperti biasanya. Pengalaman semalam sangat mengerikan bagiku. Hanya aku yang merasakannya. Bagaimana dengan kalian?
 13-06-2008




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anekdot