Cerpen: Pahlawan Tanpa Rasa Lelah



PAHLAWAN TANPA RASA LELAH
Oleh: Lia Herliana, S.Pd.

Kubuka mataku dengan perlahan. Kok rasanya nyeri semua badan ini…. Loh di mana ini? Ini bukan kamarku. Bukan pula kamar mamaku. Dinding berlapis warna putih terang. Tirai putih di sebelah kananku berkibar ditiup sepoinya AC. Ada sesuatu di kepalaku. Kuraba… lembut dan tebal membalut kepalaku. Ternyata kepalaku diperban.
Mama…. mama… di mana mama?

Apakah ini yang disebut sebagai pahlawan? Siapa yang mau menjadi pahlawan? Semua orang pasti ingin. Siapa sih yang ga mau? Pahlawan itu keren, baik, dan selalu menolong orang. Tapi dalam kehidupan nyata, apa memang masih ada yang berminat menjadi pahlawan? Aku rasa tidak. Siapa sih yang mau melakukan hal-hal yang tidak penting bagi dirinya dan meninggalkan pekerjaan yang sangat berarti baginya? Kurasa tidak mungkin ada yang mau. Aku bingung kalau melihat ada yang menjadi pahlawan seperti itu. Prihatin ataukah angkat topi sebagai rasa hormat?
Kulihat mamaku telah bangun dengan tergesa-gesa, padahal baru jam empat dini hari. Kuturunkan kaki mungilku dari atas kasur. Ruang tamu yang kulewati masih gelap gulita. Namun dari arah dapur lampu terang menyinari sekelilingnya. Aku berjalan menuju dapur. Terdengar sayup-sayup suara ribut. Tak tok tak tok. Semakin depat dengan dapur semakin jelas suaranya.
“Ma, ngapain?” tanyaku sembari masuk ke dapur.
“Eh…Qolbi. Kaget mama. Kirain suara hantu. Hehehe….” jawab mama dengan sedikit terkejut.
“Ini mama lagi masak buat sarapan kita dan bekal Qolbi di sekolah. Tebak… Mama mau bikin masakan apa hayo??” canda mama dengan wajah berseri yang selalu kurindukan.
“Ngggggg…. bikin omelet dan nasi goreng. Iya kan?” sahutku dengan mantap setelah melihat bahan makanan yang dipotong-potong oleh mama.
“Betul sekali. Sip! Sini…. dapat ciuman dari mama.” mama lantas mencium pipiku dan mengelus rambutku yang panjang.
Aku pun duduk di kursi depan tv sambil menguap berkali-kali. Kulihat mama masak sambil berjalan ke sana ke sini. Ternyata….. sambil masak, mamaku juga menyiapkan bekal buku dan seragam yang akan kupakai hari ini. Lalu mama masuk sebentar ke kamar untuk membangunkan papa yang masih tertidur lelap. Huh…. Papa kenapa sih selalu begitu? Ga hebat kayak mama.
Kusandarkan diriku di kursi depan tv. Kubayangkan gimana kalau hidupku tanpa mama? Mulai jam empat dini hari hingga malam nanti mamaku selalu mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus anak dan suaminya, dan bekerja di luar sana.
“Qolbi, yuk kita mandi.” mama menghampiriku dan membuka semua pakaian yang kukenakan.
Aku masih dimandikan oleh mamaku. Ya. Apalah daya anak enam tahun seusiaku. Mandi dimandikan, makan disuapkan, hanya mengenakan pakaian saja aku bisa sendiri. Sebetulnya aku sudah bisa mandi sendiri kok. Tapi mama sempat marah sewaktu aku mencoba mandi sendiri. Aku habiskan sebotol sampo untuk kuoleskan ke kepalaku karena menurutku sampo yang kuoleskan cuma  sedikit. Akhirnya crot…crot…crooooot…. waw… rambutku jadi licin. Tidak  hanya itu, odol pun aku kuras habis. Aku tuang pasta odol di sikat gigiku, ternyata terjatuh ke dalam bak mandi. Air di bak mandi terlihat keruh. Wah, gimana kalau kutuang sedikit lagi? warna air di bak mandi semakin seru, warnanya menarik seperti air susu. Akhirnya kutuang pasta gigi itu sampai habis dan kuaduk air di bak dengan tanganku. Warnanya cantik.
Mama yang melihat tingkahku di kamar mandi, langsung marah dan menasehatiku. Aku cuma terdiam. Perbuatanku salah ya? Semenjak saat itu, aku tidak pernah dilepaskan untuk mandi sendiri lagi.
Usai mandi, badanku dilap menggunakan handuk, dioles minyak telon, dan dilumuri bedak. Mama mengambil celana dalam dan kaos singlet untukku. Sambil kukenakan, ibu menyisir rambutku.
“Qolbi, mama lanjut masak lagi ya?” mama langsung menuju dapur.
Kulihat dari balik dinding ruang tamu, mama kembali memasak. Dari kamar mandi belakang, terdengar papa masih mandi. Usai mandi, papa sibuk mengurus diri sendiri di kamar.
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00.
“Yuk kita sarapan pagi.”
Mataku masih di depan tv menonton film kartun kesukaanku. Mama menurunkan lauk pauk yang telah dibuat. Kami makan di lantai. Lesehan. Padahal di ruang samping merupakan ruang makan, terdapat meja makan beserta kursinya. Ada tv juga di sana. Namun, kami sudah telanjur menikmati makan bersama dengan lesehan. Papa membantu menyiapkan minum kami. Kami siap untuk makan.
“Yuk, kita baca doa dulu.” papa memimpin baca doa mau makan.
“Aminnn….” ucapku dan mama serentak usai berdoa.
Mama menyuapkan nasi dan lauk ke mulutku. Aku masih disuapi. Terlihat dari tangan mama yang sibuk gonta ganti menyuapkan nasi ke mulutku, lalu menyuapkan nasi ke mulut mama sendiri. Tapi apalah daya aku masih kecil.
Beberapa menit kemudian mama dan papa telah selesai menghabiskan makanan di alas piring masing-masing. Aku belum, karena makanku yang lambat tidak secepat mulut orang dewasa.
“Ayo Qolbi, buruan, mama belum siap-siap nih.”
“Iya nah…”
Mama menyuapkan nasi ke mulutku, lalu bangkit menyimpun bekas piring dan lauk ke dapur. Lalu duduk kembali di sampingku untuk menyuapkan nasi ke mulutku lagi. Kemudian berdiri menuju kamar dan keluar dengan membawa bedak dan peralatan rias lainnya. Mama pun duduk kembali di sampingku. Sambil menyuapkan nasi ke mulutku, mama sambil berias diri. Kulihat papa hanya memainkan hp di sebelahku, tidak lebih.
Usai berias diri, mama meminta papa untuk mengeluarkan kendaraan dari garasi dan memanaskannya. Barulah papa berdiri menuju pintu luar. Mama menyuapkan nasi ke mulutku lagi, lalu kembali berdiri dan berjalan ke kamar untuk berganti baju.
Kalau sore, mama baru pulang dari tempat kerja. Tapi aku dan papa tidak ada di rumah, karena aku mengaji di masjid. Begitu aku pulang dari masjid, makanan sudah terhidang dan peluh keringat membasahi tubuh mama. Rupanya begitu mama pulang ke rumah, tidak langsung istirahat, tapi ganti baju dan segera menuju dapur. Sehingga setengah jam kemudian aku datang dan mendapati mama dengan masakannya yang lezat.
Jika malam tiba, mama selalu mengajariku mengaji, sehingga saat di masjid aku tidak kewalahan membacanya. Saat dua tahun yang lalu, tiap malam mama selalu mengajariku membaca dan menulis. Mulai dari tak mengenal satu huruf pun hingga sekarang aku lancar membaca. Menulis juga sekarang aku sudah mulai lancar, namun yaa…. masih sering campur-campur hurufnya antara huruf kecil dan kapital.
Setelah membaca dan menulis, mama juga mengajariku berhitung. Menurutku berhitung itu menarik. Aku suka. Kata mama, pelajaran dasar untuk anak yaitu calistung, singkatan dari baca tulis hitung. Mamaku tidak hanya guru bagi anak-anak lain di sekolahnya, tapi juga guru terbaik bagiku.
“Qolbi, pakai baju seragamnya.” teriak mama dari kamar.
“Iya ma.” Aku tersadar dari lamunan masa laluku dan langsung mengambil seragam dari kursi yang telah dipersiapkan oleh mama dan memakainya. Mataku masih betah menonton film.
“Ayo nak, pakai sepatunya. Kita berangkat sekarang.” mama keluar dari kamar dengan pakaian seragam kerja. Terlihat cantik dan rapi.
“Iya.” aku menuju teras dan memasang sepatu.
Papa sibuk mengurus diri sendiri, berganti baju dengan seragam kerja juga. Mama dan aku menuju kendaraan roda dua dan pergi.
Pagi ini cerah sekali, udara sejuk membelai kulit tanganku yang tidak tertutupi oleh jaket. Aku menyeringai girang dan melihat mama dari kaca spion yang fokus mengendarai motor. Setelah keluar dari jalan kecil, kami berlanjut ke jalan raya. Seperti biasa, pagi-pagi banyak truk kontainer ikut-ikutan sibuk. Huh….inilah yang membuat jalanan macet dan bisa bahaya bagi kendaraan kecil.
Mama pernah cerita, dulu di zaman soeharto, presiden kedua republik Indonesia, melarang truk kontainer beraktivitas di jalan raya pada jam-jam sibuk. Mereka hanya boleh berjalan di jalan raya setelah jam 10 malam. Dampak negatifnya ada, positifnya juga ada. Kalau negatifnya barang-barang jadi lambat datang ke toko-toko. Namun positifnya lebih bermanfaat yaitu membuat masyarakat aman dan nyaman berkendara di jam-jam sibuk kerja.
Tapi sekarang peraturan itu telah dihapus seiring perubahan pemerintahan dan presidennya. Sekarang kalau membeli kendaraan atau barang elektronik dengan warna yang diinginkan, jika tidak tersedia saat itu, bisa pesan dan besok atau lusanya sudah datang barang dan warna yang dipesan sesuai selera. Kalau dulu harus nunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Itulah salah satu sebabnya truk kontainer bisa beroperasi setiap saat, melenggokkan tubuhnya di jalan-jalan raya, membuat barang-barang cepat sampai di tujuan. Namun ya tetap saja mengerikan bagi pengguna jalan dengan kendaraan yang lebih kecil jika beriringan dengan kendaraan super besar itu. Yaa… semua ada negatif positifnya.
Waktu semakin jauh berlari, namun motor kami tidak bisa menyalip truk kontainer yang berjalan lambat di depan. Di depan kami ada mobil yang juga tidak sabar berada tepat di belakang truk  itu dan berusaha menyalip dari arah kiri. Motor di samping dan belakang kami juga mengalami hal yang sama. Mama juga tidak sabar dan berusaha menyalip. Kami mulai mengambil jalan kiri. Motor kami satu-satunya yang tepat di samping ekor truk kontainer.
Tiba-tiba mobil di belakang menyeruduk motor kami. Terasa badanku terhentak keras dan motorpun langsung oleng tak tentu arah. Udara saat itu tiba-tiba menyesakkan…. Ada apa ini? Kulihat wajah mamaku dari kaca spion terlihat cemas dan kaget. Motor kami terhempas ke kanan dan kami jatuh terseret. Terasa badanku seolah-olah ada yang memeluk erat. Ternyata mama melindungiku. Aku ditindih oleh tubuh mama. Kulihat truk kontainer mulai mendekat menghampiri kami. Kalau dilihat dengan posisi berbaring di aspal begini, truk kontainer yang menuju ke arah kami nampak sangat besar dan mengerikan, siap menelan kami. Badan ini sudah tidak bisa bergerak lagi.
“Ma….ma…. ayo bangun. Kita lari!” teriakku. Tapi mama tidak bergeming. Kenapa dengan mama? Aku menyerah. Kupejamkan mataku. Aku menyerah….aku menyerah….

Kubuka mataku dengan perlahan. Kok rasanya nyeri semua badan ini…. Loh di mana ini? Ini bukan kamarku. Bukan pula kamar mamaku. Dinding berlapis warna putih terang. Tirai putih di sebelah kananku berkibar ditiup sepoinya AC. Ada sesuatu di kepalaku. Kuraba… lembut dan tebal membalut kepalaku. Ternyata kepalaku diperban.
Mama…. mama… di mana mama?
Suaraku tercekat, tak bisa keluar dari tenggorokanku.
“Qolbi! Kamu sudah sadar? Alhamdulillah…. Dok! Cucu saya sudah sadar.”
Terdengar teriakan suara di sampingku. Aku menoleh. Oh ternyata nenekku. Wajahnya sendu, berlinang air mata. Mengapa nenek menangis? Kugerakkan tanganku, tapi tak bisa, kaku dan ngilu.
“Eh Qolbi, cucu nenek tersayang. Jangan banyak bergerak. Lukamu parah. Berbaring dan santai saja ya.” bujuk nenekku.
“Mama…” lirihku.
“Mamamu baik-baik saja di sana.” Tiba-tiba dokter mendekatiku dengan tersenyum dan mengelus rambutku. “Sore ini Qolbi sudah bisa pulang.”
“Nek, papa?” tanyaku.
“Papamu sedang mengurus sesuatu di tempat lain. Nanti sore akan menjemputmu ke sini.”
Mengapa tiba-tiba air mataku berlinang. Rasanya sediiihh…sekali. Ada apa ini? Kucoba untuk tetap tenang. Kuingat-ingat kembali apa yang terjadi padaku dan mama. Tapi akhhh… kok lupa.
Sore harinya aku pulang ke rumah, tapi tak ke rumahku melainkan ke rumah nenek. Nenek menceritakan semua yang terjadi. Air mataku tumpah ruah dan aku berteriak histeris. Aku tak mau kehilangan mama. Aku mau mama kembali.
Nenek bercerita saat kecelakaan terjadi, badanku dipeluk oleh mama dan tubuh kami terlindas truk kontainer. Banyak saksi yang melihat dan enggan untuk menolong karena sangat mengerikan dan tragis. Mama tewas seketika dengan badan yang hancur dan aku selamat karena dilindungi oleh tubuh mama. Aku hanya koma selama dua hari. Masih kurangkah pengorbanan mamaku selama ini untuk keluarga? Hingga akhir hayatnya pun masih harus berkorban. Sungguh…. mama pahlawanku.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anekdot